-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Larangan Rekrutmen Non-ASN: Dari Sanksi Administratif hingga Jerat Korupsi

9/21/25 | September 21, 2025 WIB | Last Updated 2025-09-21T17:03:46Z

Penataan Pegawai Non-ASN diwajibkan selesai paling lambat Desember 2024. Sejak Undang-Undang No. 20 Tahun 2023 berlaku, instansi pemerintah dilarang mengangkat pegawai Non-ASN dalam bentuk apa pun selain Aparatur Sipil Negara (ASN). Aturan ini dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 1119/PUU-XXII/2024 tanggal 3 Oktober 2024, yang menolak seluruh permohonan uji materi Pasal 66 UU ASN yang diajukan oleh seorang guru honorer di Jakarta Selatan.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Metro, Asst. Prof. Dr. Edi Ribut Harwanto, menegaskan bahwa pengangkatan Non-ASN setelah Desember 2024 berpotensi menjadi perbuatan melawan hukum, dengan ancaman sanksi administratif hingga pidana. Hal itu ia sampaikan saat dimintai pendapat hukum oleh wartawan di Jakarta, Minggu (21/9/2025).

Menurut Edi, Pasal 65 dan 66 UU No. 20 Tahun 2023 dengan jelas melarang pejabat pembina kepegawaian maupun pejabat instansi pemerintah lain untuk mengangkat Non-ASN. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.

Potensi Sanksi

1. Sanksi Administratif

Pemerintah daerah bisa dikenakan penundaan atau pemotongan dana transfer (TKD) jika pengangkatan Non-ASN membuat belanja pegawai melebihi 30 persen, di luar tunjangan guru.

Rekrutmen Non-ASN pasca Desember 2024 berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara dari APBD, sehingga dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.

2. Sanksi Pidana

Jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang, pemberian honorarium Non-ASN bisa masuk dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.

Hukuman yang dapat dijatuhkan berupa penjara minimal 1 tahun hingga 20 tahun, serta denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar.

Selain itu, ketentuan UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perbendaharaan Negara mewajibkan pejabat yang menyebabkan kerugian negara untuk menggantinya.

Diskresi Kepala Daerah

Menjawab pertanyaan wartawan, Edi juga menyoroti kemungkinan kepala daerah menggunakan diskresi untuk mempertahankan tenaga honorer. Menurut UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi hanya sah jika terdapat kekosongan hukum, aturan tidak jelas, atau adanya keadaan stagnasi pemerintahan. Jika diskresi dilakukan bertentangan dengan UU yang berlaku, maka bisa dianggap perbuatan melawan hukum dan berimplikasi pidana maupun perdata.

Dalam ranah perdata, perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang dinyatakan batal demi hukum (void) sejak awal karena cacat hukum.

Edi mengingatkan seluruh kepala daerah agar berhati-hati mengambil kebijakan terkait pegawai Non-ASN, karena masalah ini sudah menjadi persoalan nasional. Semua pihak diminta mematuhi aturan hukum positif yang ada untuk menghindari konsekuensi hukum yang serius. (*)